LAPORAN PRAKTIKUM
I.
Hari/tanggal
praktikum : Kamis 22 Maret 2013
II.
Judul
praktikum :Identifikasi
Cacing Kremi (Enterobius vermicularis)
III.
Tujuan
praktikum :
1) Mengamati
cirri khas morfologi teliur Enterobius
vermiculrais
2) Mengamati
morfologi cacing dewasa Enterobius vermicularis
jantan dan betina
IV.
Landasan
Teori
Enterobius
vermicularis
Enterobiasis
atau oxyuriasis adalah penyakit akibat infeksi cacing E. vermicularis atau
Oxyuris vermicularis. Disebut pula sebagai pinworm infection, atau di Indonesia
dikenal sebagai infeksi cacing kremi (Noer, 1996). Penyakit ini identik dengan
anak-anak, meski tak jarang orang dewasa juga terinfeksi.
a) Morfologi
Cacing betina berukuran 8-13 mm x
0,3-0,5 mm, dengan pelebaran kutikulum seperti sayap pada ujung anterior yang
disebut alae. Bulbus oesofagus jelas sekali, dan ekor runcing. Pada cacing
betina gravid, uterus melebar dan penuh telur.
Cancing
jantan lebih kecil sekitar 2-5 mm dan juga bersayap, tapi ekornya berbentuk seperti
tanda tanya, spikulum jarang ditemukan. Telur E. vermicularis oval, tetapi
asimetris (membulat pada satu sisi dan mendatar pada sisi yang lain), dinding
telur terdiri atas hialin, tidak berwarna dan transparan, serta rerata
panjangnya x diameternya 47,83 x 29,64 mm (Brown, 1979). Telur cacing ini
berukuran 50μm - 60μm x 30μm, berbentuk lonjong dan lebih datar pada satu
sisinya (asimetris). Dinding telur bening dan agak tebal, didalamnya berisi
massa bergranula berbentuk oval yang teratur, kecil, atau berisi embrio cacing,
suatu larva kecil yang melingkar.
Gambar
cacing E.vermecularis jantan
|
Gambar
cacing E.vermecularis betina
|
Gambar
telur cacing E.vermecularis
|
b) Siklus hidup
Manusia
merupakan satu-satunya hospest bagi E. vermicularis. Manusia terinfeksi bila
menelan telur infektif. Telur akan menetas di dalam usus dan berkembang menjadi
dewasa dalam caecum, termasuk appendix. Cacing betina memerlukan waktu sekitar
1 bulan untuk menjadi matur dan mulai memproduksi telur (Garcia dan Bruckner,
1998).
Cacing
betina yang gravid mengandung sekitar 11.000-15.000 butir telur, berimigrasi ke
perianal pada malam hari untuk bertelur dengan cara kontraksi uterus dan
vaginanya. Telur-telur jarang dikeluarkan di usus sehingga jarang ditemukan di
tinja. Telur menjadi matang dalam waktu kira-kira 6 jam setelah dikeluarkan
pada suhu badan. Dalam keadaan lembab telur dapat hidup sampai 13 hari
(Gandahusada et al., 2001). Kadang-kadang cacing betina berimigrasi ke vagina
dan menyebabkan vaginitis (Mandell et al., 1990).
Gambar Cacing betina yang bermigrasi ke
perianal untuk meletakkan telurnya
Kopulasi
cacing jantan dan betina mungkin terjadi di caecum. Cacing jantan mati setelah
kopulasi, dan cacing betina mati setelah bertelur. Daur hidup cacing mulai dari
tertelannya telur infektif sampai menjadi cacing dewasa gravid yang bermigrasi
ke perianal dan memerlukan waktu kira-kira 2 minggu sampai 2 bulan.
Gambar: Siklus
hidup E. vermicularis
c) Epidemiologi
Prevalensi cacing di Indonesia,
menurut Perkumpulan Pemberantasan Penyakit Parasit Indonesa (P4I), tahun 1992
untuk cacing gelang 70 – 90%, cacing cambuk 80 – 95% dan cacing tambang 30 –
59%. Sedangkan dari data departemen kesehatan (1997) menyebutkan, prevalensi
anak usia SD 60 – 80% dan dewasa 40 – 60% (Kompas, 2002).
Cacing ini sebagian besar
menginfeksi anak-anak, meski tak sedikit orang dewasa terinfeksi cacing
tersebut. Meskipun penyakit ini banyak ditemukan pada golongan ekonomi lemah,
pasien rumah sakit jiwa, anak panti asuhan, tak jarang mereka dari golongan
ekonomi yang lebih mapan juga terinfeksi (Brown, 1979).
Infeksi cacing terdapat luas di
seluruh Indonesia yang beriklim tropis, terutama di pedesaan, daerah kumuh, dan
daerah yang padat penduduknya. Semua umur dapat terinfeksi cacing ini dan
prevalensi tertinggi terdapat pada anak-anak. Penyakit ini sangat erat
hubungannya dengan keadaan sosial-ekonomi, kebersihan diri dan lingkungan.
Prevalensi menurut jenis kelamin sangat erat hubungannya dengan pekerjaan dan
kebiasaan penderita. Distrik Mae Suk, Provinsi Chiangmai Thailand ditemukan
anak laki-laki lebih banyak yaitu sebesar 48,8% dibandingkan dengan anak
perempuan yang hanya 36,9% pada umur 4,58 ± 2,62 tahun (Chaisalee et al.,
2004). Sedangkan di Yogyakarta infeksi cacing lebih banyak ditemui pada
penderita laki-laki dibandingkan penderita perempuan.
Tingkat infeksi kecacingan juga
dipengaruhi oleh jenis aktivitas atau pekerjaan. Semakin besar aktivitas yang
berhubungan atau kontak langsung dengan lingkungan terbuka maka semakin besar
kemungkinan untuk terinfeksi. Selain itu, prevalensi kecacingan yang
berhubungan dengan status ekonomi dan kebersihan lingkungan diteliti di
Cirebon, Jabar. Ternyata prevalensi kecacingan semakin tinggi pada kelompok
sosial ekonomi kurang dan kebersihan lingkungan buruk, dibandingkan kelompok
sosial ekonomi dan kebersihan lingkungan yang sedang dan baik.
d) Penularan penyakit
Enterobiasis menular setidaknya melalui 3 cara, yaitu:
ü Penularan dari tangan ke mulut
setelah menggaruk perianal (autoinfeksi),
ü Tangan menyebarkan telur ke orang
lain maupun diri sendiri setelah memegang benda-benda
ü Pakaian yang terkontaminasi, debu
merupakan sumber infeksi. Infeksi melalui inhalasi yang mengandung telur, retroinfeksi
melalui anus. Larva yang menetas disekitar anus kembali masuk ke usus.
e) Patologi dan Gejala Klinis
Enterobiasis sering tidak menimbulkan gejala (asimptomatis).
Gejala klinis yang menonjol berupa pruritus ani, disebabkan oleh iritasi
disekitar anus akibat migrasi cacing betina ke perianal untuk meletakkan
telur-telurnya. Gatal-gatal di daerah anus terjadi saat malam hari, karena
migrasi cacing betina terjadi di waktu malam.
Cacing betina gravid, sering mengembara dan bersarang di
vagina serta tuba fallopi. Sementara sampai di tuba fallopi menyebabkan
salphyngitis. Kondisi ini sangat berbahaya, terutama pada wanita usia subur,
sebab dapat menyebabkan kemandulan, akibat buntunya saluran tuba. Cacing juga
sering ditemukan di appendix. Hal ini bisa menyebabkan apendisitis, meskipun jarang
ditemukan.
f) Diagnosis
Diagnosis
dilakukan berdasarkan riwayat pasien dengan gejala klinis positif. Diagnosis
pasti dengan ditemukannya telur dan cacing dewasa. Selain itu, diagnosa dapat
dilakukan dengan pemeriksaan tinja dan anal swab dengan metode Scotch adhesive
tape swab (Faust et al., 1979).
Pada
pemeriksaan tinja dapat ditemukan adanya cacing dewasa. Cacing jantan dewasa
setelah kopulasi mati dan keluar bersama tinja. Sementara dengan metode Scotch
adhesive tape swab, dapat menemukan telur yang diletakkan didaerah perianal
(Faust et al., 1979). Metode yang kedua lebih mudah dilakukan, dan lebih sering
dilakukan. Selain biaya yang relatif murah, juga kerja yang cepat.
Cara kerja
metode tersebut hanya menempelkan sisi lekat celophan tape ke daerah perianal,
kemudian dengan menggunakan xylol atau toluol untuk menjernihkan, dapat
ditemukan adanya telur cacing kremi. Metode ini juga sangat efektif. Sekali
melakukan pemeriksaan dengan swab dapat menemukan 50% dari semua infeksi, tiga
kali pemeriksaan 90%, dan pemeriksaan 7 hari berturut-turut diperlukan untuk
menyatakan seseorang bebas infeksi (Faust et al., 1979).
g) Terapi dan Pencegahan
Pengobatan
enterobiasis efektif jika semua penghuni rumah juga diobati, infeksi ini dapat
menyerang semua orang yang berhubungan dengan penderita. Obat-obatan yang
digunakan antara lain piperazin, pirvinium, tiabendazol dan stilbazium iodida
(Gandahusada et al., 2001).
Pengobatan enterobiasis adalah sebagai berikut :
1) Piperazin sulfat diberikan dengan
dosis 2 x 1 g/hari selama 8 hari,
2) Pirvinium pamoat, diberikan dengan dosis 5
mg/kg berat badan (maksimum 0,25 g) dan diulangi 2 minggu kemudian,
3) Piranthel pamoat, diberikan dengan
dosis 11mg/kg berat badan single dose, dan maksimum 1 gram.
Pencegahan dengan menjaga kebersihan, cuci tangan sebelum makan, ganti sprei teratur, ganti celana dalam setiap hari, membersihkan debu-debu kotoran di rumah, potong kuku secara rutin, hindari mandi cuci kakus (MCK) di sungai. Kalau perlu toilet dibersihkan dengan menggunakan desinfektan (Noer, 1996). Selain itu, peningkatan kesehatan perorangan dan kelompok digabung dengan terapi kelompok dapat membantu pencegahan .
V.
Alat
& bahan :
a) Alat
·
Mikroskop
b) Bahan
·
Preparat awetan
c) Cara kerja :
1)
Amati preparat awetan pada mikroskop
dengan pembesaran 10 x
2)
Di amati morfologi cacing dan telur
cacing, bedakan antara cacing jatan dan betina
3)
Gambar hasil pengamatan
Hasil pengamatan :
GAMBAR
|
|||
Bagian Posterior Cacing Enterobius vermicularis dewasa jantan
Ket Gambar:
|
Bagian posterior Cacing Enterobius vermicularis dewasa betina
Ket Gambar:
|
GAMBAR
|
|||
Bagian Anterior Cacing
Enterobius vermicularis dewasa jantan
Ket Gambar:
|
Bagian Anterior Cacing Enterobius vermicularis dewasa betina
Ket Gambar:
|
GAMBAR
|
|
Telur Cacing
Enterobius vermicularis
Ket Gambar:
|
VI.
Kesimpulan
Berdasarkan
Pengamatan yang telah dilakukan dapat dilihat morfologi telur E.vermicularis
terdapat embrio, cacing dewasa jantan dan betina adanya alae dan bulbus
esophagus sebagai tempat cadangan makanan. Dan pada bagian posterior jantan
melingkar, sedangkan pada betina lurus.
Daftar Pustaka
Djaenudin Natadisastra,dr.(1997).
Protozoologi Kedokteran. Bandung : Bagian Parasitologi FKUNPAD
Srisasi Gandahusada,Prof.,Dr.dkk
(1998). Parasitologi Kedokteran. Jakarta : FKUI
file:///D:/DoC_tie/Parasitt/Enterobius-vermicularis%20pdf.htm
file:///D:/DoC_tie/Parasitt/enterobius-vermicularis.html
0 komentar:
Posting Komentar